Menunggu Sunrise di Gunung Bromo

Gunung Bromo merupakan salah satu ikon pariwisata Indonesia yang bukan hanya tersohor di negeri sendiri tetapi juga di luar negeri. Namun, melihat Gunung Bromo secara langsung dari dekat baru saya lakukan Juni lalu.

Saya dan dua orang teman berangkat dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta dengan penerbangan malam menuju Bandara Juanda, Surabaya. Kami tiba di Surabaya hampir tengah malam. Di sana sudah menunggu dua orang teman yang berangkat lebih dahulu. Dari Surabaya, kami menyewa mobil Toyota Avanza menuju Cemoro Lawang, perhentian terakhir menuju Bromo.

Sopir yang mengantar kami ke Cemoro Lawang mengatakan kami harus bergegas jika ingin sampai ke Bromo sebelum jam 03.00 pagi. Saya berharap bisa tidur sejenak sebelum sampai di Bromo. Tetapi, mobil dipacu dengan kecepatan cukup tinggi untuk mengejar target kami mencapai Bromo sebelum subuh. Dalam hati saya sedikit was-was sembari terus berdoa agar perjalanan kami selamat sampai di tujuan.

Udara dingin semakin terasa ketika kami memasuki Cemoro Lawang sekitar pukul 02.30. Kami berhenti di salah satu rumah penduduk di mana sudah menunggu jeep yang akan membawa kami naik ke Penanjakan, Bromo. Kami beristirahat sejenak dan diberi waktu untuk ke toilet. Tidak lama kemudian, kami sudah berada di dalam jeep berwarna kuning dan melanjutkan perjalanan menuju Penanjakan, sekitar 10-15 menit kemudian kami sudah sampai.

Kami membayar tiket masuk Taman Wisata Bromo Tengger seharga Rp 27.500 per orang, ini harga tiket domestik untuk weekdays yang berlaku per 5 Mei 2014. Untuk wisatawan mancanegara, harga tiket Rp 217.500. Untuk weekend, harga tiket untuk wisatawan domestik Rp 32.500 dan untuk wisatawan mancanegara Rp 317.500.

Dari tempat perhentian jeep, kami harus berjalan melalui jalur tangga beton menuju gardu pandang Pananjakan. Sudah banyak wisatawan domestik maupun asing yang juga menuju gardu pandang. Udara dingin ditambah angin yang bertiup kencang membuat saya menggigil, padahal sudah memakai jaket lumayan tebal dan kaos tangan. Di kawasan ini juga banyak penduduk yang menyewakan jaket tebal untuk wisatawan.

Sudah masuk waktu sholat subuh, kamipun menuju sebuah pendopo untuk melaksanakan sholat. Di sini kita membayar Rp 2.000 untuk air wudhu karena air tersebut diangkut dari bawah oleh penduduk setempat. Air wudhu terasa sedingin es…brr. Setelah sholat, kami menuju gardu pandang yang sudah cukup padat oleh para pengunjung yang ingin menyaksikan matahari terbit (sunrise) di Bromo. Padahal, saat itu bukan hari libur. Terbayang bagaimana ramainya Bromo saat weekend.

Sungguh sulit mencari tempat yang strategis untuk mengambil gambar (foto) di tengah padatnya pengunjung.

Wisatawan berkumpul di gardu pandang Pananjakan untuk menyaksikan matahari terbit di Gunung Bromo.
Wisatawan berkumpul di gardu pandang Pananjakan untuk menyaksikan matahari terbit di Gunung Bromo.

Kami menunggu cukup lama di tengah udara dingin. Perlahan-lahan sang surya mulai menampakkan sinarnya. Cahaya kuning kemerahan menerangi langit yang semula biru gelap. Tanpa sadar, beberapa pengunjung bertepuk tangan ketika matahari muncul.

Matahari mulai menampakkan sinarnya. Sunrise di Bromo merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu para wisatawan.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Sunrise di Bromo merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu para wisatawan.
Samar-samar Gunung Bromo dan Gunung Batok mulai terlihat.
Samar-samar Gunung Bromo dan Gunung Batok mulai terlihat.
Setelah matahari cukup tinggi, kita bisa melihat Gunung Bromo dengan jelas.
Setelah matahari cukup tinggi, kita bisa melihat Gunung Bromo dengan jelas.

Setelah puas berfoto-foto, banyak wisatawan mulai meninggalkan Pananjakan. Kami sengaja menunggu lebih lama agar leluasa mengambil gambar. Ada dua orang wisatawan dari Prancis yang langsung menyalakan kompor mini dan menggoreng telur di sana, sarapan pagi!

Sebelum turun, kami sarapan mie rebus di warung terdekat. Kami mendengar ada rombongan turis Jerman yang tengah mencari salah satu temannya. Mereka berteriak, memanggil teman mereka yang tadi turun (keluar pagar) gardu pandang Penanjakan ketika mengambil foto. Namun mereka cemas karena Christian, nama teman mereka tersebut, tidak kunjung menjawab.

Mereka lapor ke penjaga kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger yang kemudian membantu mencari turis Jerman tersebut. Untunglah, tidak lama kemudian Christian ditemukan. Dia pingsan dan jatuh ke lereng ketika mencari tempat yang strategis untuk mengambil foto.

Kami melanjutkan perjalanan ke Kawah Tengger, yang merupakan kawah dari Gunung Bromo. Jeep melaju menuju Segara Wedi (lautan pasir). Untuk mencapai Kawah Tengger, kami harus berjalan kaki atau naik kuda. Sampai di kaki kawah, kami masih harus mendaki anak tangga yang cukup tinggi agar bisa melihat kawah dari dekat.

Melewati lautan pasir menuju Kawah Tengger
Melewati lautan pasir menuju Kawah Tengger.
Save your breath, perjalanan menuju Kawah Tengger lumayan menguras tenaga.
Save your breath, perjalanan menuju Kawah Tengger lumayan menguras tenaga.
Kawah Tengger mengepulkan asap.
Kawah Tengger mengepulkan asap.

Setelah mendaki puluhan anak tangga, sampailah kami di sisi Kawah Tengger. Kita bisa melihat dari dekat kepulan asap yang mengeluarkan bau belerang.

Seorang pria menjual bunga edelweis di dekat Kawah Tengger.
Seorang pria menjual bunga edelweis di dekat Kawah Tengger.

Kami bersiap kembali ke mobil jeep yang menunggu di bawah yang akan membawa kami kembali ke Cemoro Lawang. Tiba-tiba angin kencang bertiup, badai pasir. Aahh…sebagian pasir itu bahkan masuk ke mata dan mulut.

Badai pasir bisa terjadi kapan saja, terutama di siang hari.
Badai pasir bisa terjadi kapan saja, terutama di siang hari.

Ketika sampai di dalam mobil, sopir yang mengantar kami mengatakan badai pasir kerap terjadi tiba-tiba, terutama di siang hari. Itu sebabnya waktu terbaik mengunjungi Bromo adalah sebelum matahari terbit hingga sekitar pukul 08.00 WIB. Rasanya, pengalaman di Bromo ini akan menjadi pengalaman tak terlupakan bagi kami. (*)

3 thoughts on “Menunggu Sunrise di Gunung Bromo

Leave a comment